Pembelian alat peralatan pertahanan keamanan (Alpahankam) atau Alutsista dengan anggaran besar dinilai tergesa-gesa dan belum terencana secara matang.
Sebab, dalam pertahanan nasional perlu membaca visi menjadi strategi lalu menjadi doktrin pertahanan untuk membuat roadmap yang sesuai dengan Nawacita.
Hal ini seperti dikatakan Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PAN, Farah Puteri Nahlia.
Dia menolak rencana Kementerian Pertahanan (Kemenhan) yang dipimpin Prabowo Subianto berhutang Rp1.700 triliun untuk pembelian Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista).
“Saat ini Indonesia sedang menghadapi pandemi Covid 19. Upaya penanganan menjadi prioritas utama pemerintah agar ekonomi kita kembali pulih. Upaya menjaga ketahanan ekonomi masyarakat lebih urgen dan mendesak dilakukan tanpa mengurangi visi strategis penguatan pertahanan militer,” ujar Farah dalam keterangan tertulis yang diterima media, Minggu (6/6) dikutip dari Fajar.
“Dengan pembacaan ancaman yang tepat dan komprehensif, kita dapat mengetahui kebutuhan alutsista apa saja yang perlu dan mendesak kita beli maupun yang tidak. Pertimbangan ini semata-mata sebagai bentuk proporsionalitas anggaran dan penentuan skala prioritas yang lebih seimbang,” terang dia.
Farah mengatakan, anggaran tersebut berisiko membuat hutang Indonesia bertambah besar. Apalagi periode Maret 2021 Hutang Berjalan Pemerintah RI sudah mencapai Rp6.445,07 triliun.
“Jadi, seharusnya setiap pembiayaan negara perlu dihitung konsekuensi logis dan rasionalisasi penggunaannya,” tutur Farah.
Dihubungi secara terpisah, Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi PKS, Abdul Kharis Almasyhari mengatakan, perlu adanya perhatian terhadap alutsista yang sudah tua. Ia menilai, perlu digantinya sejumlah alutsista yang telah tua tersebut.
“Penting untuk dilakukan penggantian alutsista yang sudah uzur,” ujar Abdul saat dikonfirmasi, Minggu (6/6).
Sebelumnya, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) menyatakan, rancangan Peraturan Presiden tentang Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (Alpahankam) Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia, belum final.
“Raperpres adalah dokumen perencanaan dalam proses pembahasan dan pengujian mendalam, bukan dan belum menjadi keputusan final,” ucap Juru Bicara Menteri Pertahanan RI Dahnil Anzar Simanjuntak.
Dahnil menuturkan, pembiayaan yang dibutuhkan masih dalam pembahasan dan bersumber dari Pinjaman Luar Negeri. Ia mengklaim, nilainya tidak akan membebani APBN, dalam arti, tidak akan mengurangi alokasi belanja lainnya dalam APBN yang menjadi prioritas pembangunan nasional.
Sebab, pinjaman yang kemungkinan akan diberikan oleh beberapa negara ini diberikan dalam tenor yang panjang dan bunga sangat kecil serta proses pembayarannya menggunakan alokasi anggaran Kemhan yang setiap tahun yang memang sudah dialokasikan di APBN, dengan asumsi alokasi anggaran Kemhan di APBN konsisten sekitar 0,8 persen dari PDB selama 25 tahun ke depan.
“Semua formula di atas yang masih dalam proses pembahasan bersama para pihak yang terkait. Bukan konsep yang sudah jadi dan siap diimplementasikan,” tutur Dahnil. (Fajar/ima)